"Sampai Hujannya Reda"
Sampai Hujannya Reda
( Oleh Hastuti Nuuru Insani)
Capt.1
Capt.1
Hujan
lebat di sore itu, seakan tahu akan rasa hati yang pilu. Dirimu yang selalu
menggambarkan keelokkan alam, kini mudah saja berganti senyap. Cincin yang dulu
kau sematkan, apa mungkin kini tak ada artinya lagi. Andai saja ia dapat
berbicara. Ia pasti akan menjelaskan bahwa aku begitu ingin selalu menemanimu
sampai raga tak lagi berguna, sampai rasa tak dapat merasa. Pikirku terus
mencari-cari keberadaan titik hitam yang menyebar dan membaur dalam perjalanan
panjang. Titik hitam menghalangi mata untuk melihat jernihnya sungai yang
mengalir hingga ujung. Terus saja aku mengingat hingga terhanyut dalam hujan.
Aku
berdiri di depan gerbang besi tua yang telah berkarat. Aku telah biasa menunggu
tepat dibawah gapura sekolah untuk berlindung dari gerimis. Aroma gerimis
tercium kuat seakan memberi tahu akan kehadirannya. Banyak orang yang datang
hanya sekedar berteduh untuk menelpon seseorang kemudian orang itu dijemputnya
lalu pergi. Ada juga yang berteduh sambil menaiki motornya lalu memakai jas
hujan dan pergi. Bahkan ada yang nekat melewatinya dengan berlari menerjang
gerimis yang semakin kuat. Sedangkan aku lebih memilih untuk menunggu saja.
Kini
gerimis semakin menjadi-jadi. Ia meluapkan semua kesedihannya dengan hebat. Aku
merasa khawatir hujan akan lama berhenti. Kecemasanku membuatku tersadar bahwa
tali sepatuku ternyata lepas dari ikatannya. Entah sejak kapan ia terlepas,
mungkin saat aku berlari terburu-buru keluar kelas dan menuju ke gapura ini. Ku
benarkan kembali ikatan tali itu dan aku ikat sekuat mungkin agar tak lagi
dapat terlepas. Suara langkah kaki yang dibarengi dengan suara percikan air
cepat saja menuju ke arahku. Sambil membawa sepedanya ia berteduh juga di
gapura ini. Baju dan celananya tampak basah karena terkena hujan. Aku langsung
melihat ke sisi ujung gapura untuk memastikan. Tak lama aku melihatnya, iapun
mengarahkan pandangannya padaku. Terkejutnya aku, lalu akupun menunduk sambil
merapikan lagi ikatan tali sepatuku.
Waktu
memang terasa sangat singkat. Berganti arah dengan semaunya tanpa menghiraukan
angin. Pertemuan dimana hanya aku yang tahu. Perjumpaan kecil dikala langit
mendung yang perlahan menurunkan kesedihannya. Tak disengaja atau memang sudah
merupakan takdirnya. Saat mata melihat namun bungkam. Ia tertahan untuk tak
bertegur. Dari ujung yang jauh dimana mata tertuju seperti enggan berpaling
saat memandang. Ia tampak biasa dan sederhana. Mata tak mampu menjelaskan
kenapa dan bagaimana. Mata hanya ingin tahu seperti apa yang bila tampak lebih
dekat.
Hujan semakin deras ditambah dengan
suara petir yang membelalak mata. Angin kiriman hujan, bertiup membawa hawa
dingin yang menyelimuti. Aku gosokkan tanganku agar menimbulkan kehangatan.
“Hujannya
makin deras. Kamu masih ingin menunggu di sini?”,tanya laki-laki itu.
Aku
langsung menoleh ke arahnya. Sebenarnya aku merasa terkejut. Mudah sekali dia
memulai pembicaraan dengan yang orang baru ia temui.
“Iya,
aku akan menunggu sampai hujannya reda.” ,jawabku padanya.
Iapun
tersenyum dan meninggalkanku di gapura. Selama hampir 3 tahun aku bersekolah,
aku tidak pernah melihat laki-laki itu. Mungkin karena waktu kita yang tidak
pernah tepat untuk bertemu.
***
Komentar
Posting Komentar