Anugerah Tak Dapat Diduga
Anugerah tak dapat diduga
Capt.1
Tak terasa
sinar kembali lagi.
Kembali datang menghangatkan
pagi. Seakan menyambut
hari, yang mungkin
nantinya akan menjadi
hari bersejarahku. Tibalah
saat wisuda dan
pengumuman hasil nilai
ujian nasinal yang
telah aku dan
teman - temanku
tempuh. Hari itu
aku menggunakan pakaian
adat jawa. Aku
memakai kebaya merah
dengan kerudung merah
pula yang dulunya
milik almarhumah eyang
puteri. Berkaca aku
di ruang itu,
berharap hari itu
akan jadi hari
keberuntungan bagiku. Dalam
hati terasa sesak.
Terasa bimbang dalam
senyap. Meskipun ragu,
ku coba kuatkan
hati. Rencananya aku menuju ke
sekolah akan diantar
oleh bapak. Saat
itu, bapak dari
setelah mengajar di SMA swasta.
Di SMA itulah
bapak mencari rizqi
dan di SMA
itulah bapak memperoleh
ridho Sang Ilahi
berkat kerja kerasnya. Mata
yang terlihat sayu,
namun hatinya diselimuti
harapan. Harapan yang
mulia. Harapan mekarnya
kuncup bunga melati
yang untuk pertamakali.
Mekar indah nan
mewangi semerbak putih
nan suci. Melihatnya
penuh harapan, ku tak
ingin mengecewakannya dan
yang bisa aku
lakukan saat itu
adalah memberikan senyuman
terbaikku untuknya.
Saat di
perjalanan menuju sekolah,
keramaian, sedih, suka,
kecewa, bahagia, tangis,
luka, semua beradu
gaduh dalam angan.
Hanya dengan
do’alah, kekhawatiran itu,
semua keresahan itu
hilang. Yang ada
hanyalah damai dan
tenang. Di setiap
langkah aku, tak
ada yang aku
pikirkan selain berdo’a
dan terus berdo’a.
Memohon agar hari
ini saja, satu
kali ini saja,
sekali ini saja,
aku ingin membuat
kedua orang tuaku
tersenyum bahagia. Dan
alasan mereka tersenyum
itu adalah diriku.
Pastinya, aku khawatir
dan merasa takut akan
hasil nilai ujianku .
Aku hanya ingin
dapat mendapatkan hasil
yang bisa membuat
kedua orangtuaku bahagia.
Aku hanya ingin membahagiakan
mereka. Aku selalu
berdo’a.
Sesampainya
di
sekolah, ternyata sudah
ramai oleh teman
- teman aku disertai para
orangtuanya. Aku saat
itu bersama bapak
sebagai waliku. Sempat aku
tersesat melihat keramaian
itu. jauh dalam
angan aku takut
akan kehilangan arah,
bingung, tak tau
harus kemana. Datanglah cahaya,
melihatnya mengulurkan tangannya,
seakan memberikan jalan
pelita untukku. Tangan
itu menunjukkan arah
dan membuat hati aku terasa
tentram. Kemudian bapakku
mengandeng tangan aku.
Aku hanya tersenyum
kecil melihat banyak
teman - teman aku berfoto
sebelum wisuda. Ada
yang berfoto sendiri,
juga ada yang
berfoto bersama orang
tuanya. Rasanya ingin
aku ikut dalam
keramaian itu, tapi
aku takut tersesat
jauh. Maka ku
ajak bapak untuk
berfoto bersama, tetapi
saat itu harga
fotonya sangat mahal.
Aku tidak ingin
merepotkan bapak hanya
karena keinginanku untuk berfoto.
Akupun memutuskan untuk
tidak jadi berfoto
besama saat itu.
Menurutku sudah sangat
cukuplah bapak ada di sampingku.
Namun, bapak kemudian
malah memintaku untuk
berfoto. Dengan wajah
sayu yang tanpa make
up ku tersenyum
dan membawa atribut
layaknya orang sukses
yang benar -
benar diwisuda.
Aku merasa
sedikit minder melihat
teman - temanku
terlihat sangat cantik
dan anggun. Kebaya
yang berkilau, make up yang
cantik. Sepatu highheels juga yang
tingginya mungkin bisa
sampai 10-15 cm
aku rasa.
Semua itu
terlihat sempurna. Bapak
menuju tempat duduk
yang disiapkan bagi
para wali murid.
Entahlah di tempat
duduk yang keberapa
akupun tak lihat
lagi. Yang aku
tahu sekarang, keresahanku
tiba - tiba
muncul kembali. Aku terdiam memandangi
panggung yang disusun
indah dan dipanggung
itulah, akan menjadi
panggung yang ku
injak untuk
menjemput masa depan.
Sejujurnya aku takut
hasilnya akan mengecewakan.
Aku membayangkan bagaimana
jika bapak kecewa,
atau bagaimana jika
ibuku yang berada
di rumah menangis
setelah kepulanganku dari
wisuda, dan bagaimana
jika aku mempersulit
keadaan keluarga karenanya.
Semua pertanyaan, dugaan
itu membuatku semakin
resah. Tak henti -
hentinya kuucap doa,
agar hari itu
dapat berjalan dengan
lancar.
Tiba -
tiba ku mendengar
ada suara yang
tidak asing lagi
bagiku. Suara yang
membuat lamunanku akan
panggung itu hilang
seketika. Syukurku dalam
hati, aku bertemu
beberapa teman -
teman sekelasku. Ternyata mereka
memanggilku untuk mengajak
berjalan bersama menuju
tempat dimana para
siswa yang akan
diwisuda dikumpulkan. Mereka
bercanda, tertawa bersamaku.
Kebahagiaan. Ya, kebahagiaan
yang ku dapatkan
dari mereka. Semua
kegelisahanku seakan berkurang.
Sempat terlintas di
sela tawa, apakah
mungkin setelah ini
kami dapat bertemu
dan bercanda tawa
kembali. Entahlah, pikiran
itu seakan hanyut
di tengah bahagianya
tawa. Kemudian akupun
berbaris di
belakang panggung bersama
teman - temanku
yang lainnya. Kami
masih bercanda ria.
Karena saat itu
temanku yang bernama
Nabila yang dulunya
mengatakan ia membenci
warna pink. Kini
saat wisuda dia
malah menggunakan kebaya
berwarna pink. Tawa
kamipun bertambah keras.
Apalagi tawa seorang
Erlin. Erlin adalah
temanku yang paling
berisik. Dia sungguh
selalu membuat kami
tertawa ceria dengan
lawakannya.
Komentar
Posting Komentar