"Sampai Hujannya Reda"

Capt.2


      Perbincangan yang engkau mulai begitu menarik bagiku. Topik demi topik kita bicarakan. Setelah aku banyak bercerita tentang diriku dan pengalamanku, kaupun kemudian menceritakan tentang dirimu walau hanya sedikit. Kau juga menceritakan tentang dirimu yang banyak absen di sekolah. Waktu itu pukul 05.13 sore. Hujan juga tak kunjung reda. Angin terus saja bertiup  menerpa gapura. Seakan menahanmu untuk tetap tinggal di sini menemaniku. Tiba-tiba kau memberikan jaketmu padaku dan langsung pergi meninggalkanku tanpa berkata-kata. Kau hanya meninggalkan senyuman seakan mewakili ucapan selamat tinggal. Aku hanya membalas senyuman darimu dan menjaga jaketmu.
                             
     Awal pertemuan adalah yang sangat aku ingat dan aku rindukan. Di balik jendela aku tetap memandangi hujan yang ditiap rintiknya terselip harapan doa bahwa kau baik saja di sana. Ragaku yang kini semakin lemah. Tubuhku yang mulai membungkuk. Mataku yang semakin sayu masih ingin memandangmu lebih dekat. Kau pernah berkata bahwa kau tidak bisa menemani perjalananku lagi. Tapi aku tak ingin. Aku selalu mengingat janji kita untuk terus bersama melewati waktu.
                               
       Ini hari ketiga kau tak menyapaku di tempat  singgah kita. Apa kau ingat pohon mangga yang kita tanam di belakang rumah? Dahulu kita sering merawatnya bersama. Kini tinggal aku sendiri yang menyiraminya. Kita pernah juga mengukir nama kita di pohon itu, seakan ingin mengabadikan kita jika raga tak lagi ada. Hujan telah sering menerpa pohon itu. Angin juga ikut menggoyahkan kekokohan pohon. Namun aku selalu percaya bahwa ia kuat dan tak akan roboh. Meski ia kini telah menua seperti halnya perjalanan kita.

     Aku terbangun dari lamunan sendu. Kursi yang selalu kamu duduki saat bercengkrama membicarakan dunia, akupun sama duduk di sebelahmu. Kini rumah impian kita terasa sepi. Rasanya tak ingin ku berlama-lama di sini. Hatiku memaksa untuk berlari menuju gapura sekolah kita. Entah firasat apa yang menggerakkanku ke sana. Yang ada di pikiranku hanya keinginan untuk dapat bertemu. Seakan tak peduli dengan hujan, aku terjang saja ia. Aku tak ingin keadaan kita terus seperti ini.

        Saat aku mencari titik hitam itu, aku menemukan selembar kertas di bawah bantal yang biasa kau gunakan. Tiba-tiba saja hujan seakan turun mengenai mataku. Hatiku seakan tersambar petir yang menyayat sengit. Kertas itu pemberitahuan tentang yang selama ini kau sembunyikan. Titik hitam itu yang selama ini kau simpan sendirian. Aku terjatuh seakan tak sanggup menerima kenyaataan. Aku telah salah. Kepergiamu bukan karena kebencian. Justru kepergianmu ingin menjaga kebahagiaan. Bukan begitu caranya. Rasa sesal yang muncul karena selama ini aku tak bisa mendampingimu dengan benar. Sampai kini penyakit yang engkau derita selama bertahun-tahun aku tak mengetahuinya.
                              
        Kakiku terhenti tepat di depan gapura sekolah. Ternyata benar, kau berdiri di sana. Aku tak ingin perjalanan panjang kita berakhir dengan hilangnya kau bersama hujan. Segera aku mendekatimu dan menatap matamu. Kau terlihat sangat pucat. Rambut putihmu yang telah jarang menunjukkan kerasnya perjuanganmu mengalahkannya. Itu bukanlah penghalang bagiku. Meninggalkanku bukanlah cara yang tepat, sayang. Aku akan lebih bahagia jika kau memenuhi janji kita untuk melewati waktu. Aku tak peduli tentang lama waktu yang menghalangi. Aku sudah tahu. Meski pada akhirnya kau akan tiada. Engkau akan hilang bersama hujan dan aku percaya kau akan datang kembali bersama embun.
        “Hujannya makin deras. Kamu masih ingin menunggu di sini?”,tanya suamiku.
        “Iya, aku akan menunggu sampai hujannya reda.” ,jawabku padanya.
          Lalu ia memelukku.


                                                                                               Bantul, 23 Februari 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Berkenalan dengan Puisi

Prolog Autobiografi

"Seharusnya"